Rabu, 17 September 2014

Dua Arsitek Perempuan Asal Indonesia Mengukir Prestasi di Adelaide

Minggu ini, dua perempuan asal Indonesia akan bertemu dalam wisuda di Universitas Adelaide, Australia. Keduanya menekuni bidang arsitektur, satunya profesor dan yang lainnya doktor yang baru lulus. Sebuah pencapaian membanggakan, tapi menurut mereka, kiprah perempuan di bidang arsitektur masih kurang terdengar.
Setelah empat tahun, Cynthia Erlita Wuisang merampungkan studi S3 atau PhD nya di University of Adelaide, Australia Selatan. Upacara yang akan berlangsung tanggal 18 September 2014 nanti menjadi ajang perayaan dan peresmiannya.
Perempuan yang di Indonesia bekerja sebagai arsitek dan dosen di Universitas Sam Ratulangi, Manado, tersebut akan dibacakan namanya oleh Veronica Soebarto, profesor dan ketua sementara Fakultas Arsitektur University of Adelaide.
Selain sebagai pembaca nama, Veronica juga berperan sebagai pembimbing Cynthia dalam proses penyelesaian thesisnya, yang membahas pentingnya peran lansekap kebudayaan, atau cultural landscape, dalam proses pembangunan suatu wilayah.
Sepak terjang Cynthia dalam menyelesaikan thesisnya perlu diacungi jempol, ujar Veronica, yang dulu pernah menimba ilmu di Universitas Indonesia dan juga di Texas A&M University, Amerika Serikat.
Cynthia Wuisang bekerja sebagai dosen tetapi juga masih berpraktek sebagai arsitek. (Foto: Cynthia Wuisang)Cynthia Wuisang bekerja sebagai dosen tetapi juga masih berpraktek sebagai arsitek. (Foto: Cynthia Wuisang)
“Apa yang [Cynthia] lakukan di lapangan, di Minahasa, luar biasa,” ucapnya kepada Dina Indrasafitri dari ABC.
Penelitian Cynthia berusaha menggali kembali karakter budaya lokal masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara.
Tak kurang dari 300 responden dari 14 desa Ia wawancara demi mencari tahu tentang cara berfikir masyarakat setempat, terkait lingkungan, kepercayaan, dan budaya.
Menurut Veronica, pengetahuan ini seharusnya digunakan dalam proses pembangunan suatu wilayah.
“Dalam membangun dan menangani wilayah, Minahasa perlu mempertimbangkan aspek-aspek penting ini,” ucapnya, “Saat ini, proses pembangunan tidak mempertimbangkan hal ini, melainkan sekadar membangun hal-hal baru, tanpa menghargai budaya setempat.”
Veronica menjelaskan lebih lanjut bahwa Cynthia berhasil mendapatkan informasi mendalam tentang kepercayaan masyarakat setempat yang terkait berbagai hal, mulai dari alam, tarian, hingga peralatan yang digunakan sehari-hari.
“Semua ini bagian dari keseharian mereka, dan cara mereka mengatur kehidupan bermasyarakat, bermukim, mengolah lahan, semuanya berkaitan satu sama lain,” ucapnya, “Kalau semua ini tidak dipertimbangkan, masyarakat setempat tak akan puas dengan pembangunan.”
Cynthia sendiri berharap hasil penelitiannya bisa dijadikan masukan bagi pemerintah setempat atau pihak developer yang akan membangun di Minahasa.
“Saya ingin sekali setelah balik dari sini memberi kontirbusi bagaimana membangun dari bawah. Selama ini yang ada top down,” ucapnya,
“Belum ada perhatian pemerintah untuk mengakomodir apa yang ada di masyarakat baik secara sosial budaya, ekonomi, yang ada di tiap-tiap desa. “
Sebelum mengejar gelar S3, Cynthia juga merampungkan S2-nya di universitas yang sama, yaitu University of Adelaide.
Tak hanya mendapat ilmu, Ia juga belajar banyak dari mengamati manajemen kota Adelaide di Australia Selatan, tempat universitas itu terletak, dan membandingkannya dengan Indonesia, terutama kota Manado.
“Mungkin Manado bisa seindah kota Adelaide. Manajemennya bagus sekali,” ucap Cynthia,
“Saya ingin berkontribusi ke pemerintah daerah untuk memberikan masukan-masukan bagaimana pemerintah Adelaide mengelola dengan baik.”
Sulitnya Perempuan Berprestasi di Dunia Arsitektur
Baik Cynthia maupun Veronica mengakui bahwa kaum perempuan masih kurang terdengar gaungnya di dunia arsitektur.
Ini bahkan tidak hanya berlaku di Indonesia, melainkan di Australia dan berbagai negara lain juga, ucap mereka.
Menurut Veronica, jumlah perempuan yang mempelajari arsitektur di sebuah fakultas atau jurusan bisa saja setara dengan laki-laki, namun giliran terjun ke dunia kerja, biasanya arsitek laki-laki lebih mudah maju dan dikenal.  
Ada beberapa sebab yang mungkin melatarbelakangi ini, misalnya karena seorang arsitek seringkali harus bergadang dan bekerja semalaman, dan ini cenderung dihindari perempuan yang sudah berkeluarga.
Selain itu, lingkungan kerjanya pun terkadang keras dan tidak ramah perempuan.
“Anda harus pergi ke lokasi pembangunan dan mengawasi. Saya ingat waktu saya masih berusia 23 atau 24 tahun. Saya harus pergi ke rapat di lokasi proyek, dan disiuli para pekerja,” cerita Veronica,
“Kemudian saya harus memimpin rapat dengan sejumlah kontraktor, dan mereka melihat dengan pandangan seolah berkata ‘siapa kamu? Kami lebih tahu dari kamu.’”
Hal serupa diungkapkan Cynthia. Menurutnya, banyak mahasiswanya yang setelah lulus dari jurusan arsitektur malah bekerja di bidang yang tak ada hubungannya dengan ilmu tersebut, seperti bekerja di bank atau menjadi pegawai negeri.
“Saya ingin nanti sekembalinya saya di sini, saya mengajar, saya ingin memberikan dorongan terutama untuk arsitek perempuan untuk lebih mengembangkan diri,” ujarnya.
- See more at: http://australiaplus.com/indonesian/2014-09-16/dua-arsitek-perempuan-asal-indonesia-mengukir-prestasi-di-adelaide/1368717#sthash.1AygVeel.t9ZB1s7l.dpuf

0 komentar:

Posting Komentar