Keputusan Presiden Joko
Widodo membolehkan pihak asing memiliki properti di Indonesia memantik
pro-kontra. Ada pihak yang khawatir kebijakan ini bisa melonjakkan harga
properti. Tapi, pihak yang lain menilainya sebagai langkah positif,
antara lain bahwa dengan demikian penerimaan pajak properti
dari investor asing bisa lebih dioptimalkan.
Usulan kepemilikan asing
ini sebetulnya bukan datang dari pemerintah, melainkan dari Asosiasi
Real Estate Indonesia (REI). Pemerintah menyetujuinya. Sebelum Jokowi
menyatakan sikapnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sudah
terlebih dulu menyuarakan persetujuannya.
“Presiden Jokowi menyetujui
usulan DPP REI untuk memperbolehkan kepemilikan asing di bidang
properti,” kata Teten Masduki dari Tim Komunikasi Presiden, dalam
keterangan persnya, 23 Juni 2015, Teten menguraikan pemerintah akan
mengubah Peraturan Pemerintah No. 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia.
Tetapi perubahan persisnya
masih dikaji. Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan tetap
akan ada beberapa batasan atas kepemilikan tersebut. Pertama,
kepemilikan masih akan didasarkan pada hak menggunakan. Kedua,
kepemilikan hanya terbatas pada apartemen mewah atau landed residential dengan minimum harga jual tertentu.
Martin Panggabean, Chief
Economist IGICo Advisory, termasuk kalangan yang menyatakan
kekhawatirannya atas kebijakan ini. Menurut dia, hal ini bisa memicu
lonjakan permintaan di sektor properti dan melecut kenaikan harga
berkali-kali lipat. Pasalnya, patokan
harga properti di Indonesia akan disandingkan dengan harga regional yang
didasarkan pada kemampuan warga asing yang memiliki daya beli tinggi.
Ia mencontohkan, misalnya
harga properti saat ini yang cuma Rp 2 miliar kemungkinan besar akan
dijual menjadi sekitar Rp5 miliar kepada pembeli asing. "Ini bisa menjadi awal terjadinya 'bubble'
properti. Hal ini bisa diperparah lagi bila ternyata sebagian besar
pasar diisi oleh investor atau spekun," katanya kepada Bareksa.com.
Direktur Eksekutif Indonesia Properti Watch, Ali Tranghanda, kepada Bareksa mengatakan
angka Rp5 miliar yang selama ini berkembang untuk nilai minimal yang
bisa dibeli asing terlalu rendah. Ia menilai saat ini sudah banyak
properti menengah dengan harga Rp2 miliar.
Ia menambahkan, selama ini properti di Indonesia terhindar dari bubble
properti karena pertumbuhannya terjadi berdasarkan nilai riil. Jika
keran asing untuk memiliki dibuka potensi terjadinya pertumbuhan semu
akan semakin besar dan akan meledak pada waktunya.
Menengok ke belakang, resesi global yang dipicu ledakan subprime mortgage di
Amerika Serikat pada tahun 2008, terjadi gara-gara kredit kepemilikan
rumah dijadikan obyek investasi spekulatif di pasar derivatif. Pembentukan harga terjadi berdasarkan patokan harga semu, bukan harga riil. Dan impaknya tidak hanya menghantam sektor properti Amerika, tapi juga menggulung Eropa dan lalu menjalar ke seluruh dunia.
Di Indonesia, lonjakan harga
properti -- khususnya untuk tipe apartemen -- telah terjadi sejak tahun
2009; berdasarkan data PT Cushman & Wakefield Indonesia. Tapi,
gejala ini baru berjangkit di area Jakarta, khususnya di area Central
Business District (CBD). Di kawasan ini, lonjakan harga apartemen terjadi pada tahun 2014, mencapai 38,9 persen. Sebaliknya, pertumbuhan di area prime justru mulai menurun, menjadi hanya 22,4 persen. Pada periode 2009-2014, area CBD rata-rata tumbuh 21,7 persen sedangkan prime hanya 18 persen.
Grafik: Harga Jual Apartemen Per M2 (Rp Juta) Periode 2009 - Kuartal I 2015
Sumber: Bareksa.com
Di sisi pendapat yang lain,
Presiden Direktur PT Syailendra Capital Jos Parengkuan justru menyambut
positif. Dia menilai kebijakan Jokowi ini menciptakan kepastian regulasi
soal kepemilikan properti oleh pihak asing. “Investor asing jadi tidak ngumpet-ngumpet lagi beli properti. Sekarang ini, banyak yang memakai nominee, akhirnya pajak malah tidak terbayar dengan benar,” katanya.
Soal kekhawatiran 'bubble'
properti, Jos melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Dia
menyodorkan fakta bahwa di Malaysia misalnya, investor asing bebas
membeli properti namun harga properti di negeri ini nyatanya tetap kalah
mahal dibandingkan Jakarta. "Pada akhirnya ini akan terkait dengan demand dan supply.
Kalau memang harganya cuma Rp2 miliar memangnya si warga asing tidak
cukup pintar mau membayar Rp5 miliar?" Jos balik bertanya.
Menurut Jos, skandal subprime mortgage di
AS meledak bukan disebabkan lonjakan harga properti karena
investor asing. Malapetaka itu terjadi karena kecerobohan analisis
kredit dan aturan industri finansial yang kelewat longgar.
Data
konsultan properti global Knight Frank tahun 2015 memperlihatkan harga
tanah di Kuala Lumpur masih berada di bawah Jakarta. Namun, harga
properti di Jakarta masih jauh di bawah kota-kota lain di negara maju
seperti Singapura dan Tokyo.
Permintaan
akan properti di Jakarta sebetulnya sudah melonjak cukup lama. Indeks
properti yang dibuat Knight Frank menunjukkan pada periode Juni
2012-Juni 2014 kenaikan harga perumahan dan perkantoran di Jakarta
merupakan yang tertinggi di antara kota-kota besar lain di Asia seperti
Singapura dan Shanghai. Pertumbuhan harga perumahan mencapai 104,5
persen dan perkantoran 72,5 persen.
Adapun
laporan DBS Research menyimpulkan walaupun harga tanah di Jakarta dan
Surabaya naik rata-rata 35 persen per tahun pada periode 2009-2014,
tetapi sektor properti belum menunjukan indikasi 'bubble'. "Ini hanya fase di mana pertumbuhan lapisan masyarakat dengan middle income mulai
naik," demikian ditulis laporan itu. Hal itu terlihat dari pendapatan
rumah tangga pada periode 2009-2013 yang rata-rata bertumbuh 27 persen
per tahun. Padahal, per akhir 2009 hanya naik 17 persen.
Sumber: Knight Frank Research
Meski
demikian, Jos mengingatkan tetap ada kemungkinan terjadi lonjakan harga
properti sebagai imbas dari kebijakan ini. Untuk itu, kebijakan ini
perlu di-back-up aturan lain mengenai pajak dan kredit dari Bank Indonesia, agar tidak lantas lepas kendali.
Sementara menurut Ali,
ancaman kenaikan harga properti secara keseluruhan akibat kebijakan ini
bisa dihindarkan jika bunyi persis PP No. 41/1996 yang sedang dikaji pemerintah benar-benar mengatur pembatasan harga dan juga zonasi seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan.
Dilaporkan koresponden Bareksa di London,
Inggris; negeri ini mulai memperkokoh aturan kepemilikan properti oleh
pihak asing. Warga asing bebas membeli properti, namun untuk rumah yang
tidak dijadikan hunian utama pajak yang dikenakan tinggi, paling
kecil 28 persen. Kebijakan ini
akan mulai diberlaku per April 2015, dilatari keluhan banyak warga
London soal menggilanya harga properti di kota ini. Tujuannya, untuk
meredam spekulasi properti.
Pelajaran yang bagus dari Big Ben. (np, kd)
Sumber : bareksa.com