Kamis, 25 Juni 2015

Jokowi Bolehkan Asing Miliki Properti di Indonesia, Harga Bakal Melangit?

 Image

Keputusan Presiden Joko Widodo membolehkan pihak asing memiliki properti di Indonesia memantik pro-kontra. Ada pihak yang khawatir kebijakan ini bisa melonjakkan harga properti. Tapi, pihak yang lain menilainya sebagai langkah positif, antara lain bahwa dengan demikian penerimaan pajak properti dari investor asing bisa lebih dioptimalkan.

Usulan kepemilikan asing ini sebetulnya bukan datang dari pemerintah, melainkan dari Asosiasi Real Estate Indonesia (REI). Pemerintah menyetujuinya. Sebelum Jokowi menyatakan sikapnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sudah terlebih dulu menyuarakan persetujuannya.

“Presiden Jokowi menyetujui usulan DPP REI untuk memperbolehkan kepemilikan asing di bidang properti,” kata Teten Masduki dari Tim Komunikasi Presiden, dalam keterangan persnya, 23 Juni 2015, Teten menguraikan pemerintah akan mengubah Peraturan Pemerintah No. 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia.

Tetapi perubahan persisnya masih dikaji. Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengatakan tetap akan ada beberapa batasan atas kepemilikan tersebut. Pertama, kepemilikan masih akan didasarkan pada hak menggunakan. Kedua, kepemilikan hanya terbatas pada apartemen mewah atau landed residential dengan minimum harga jual tertentu.

Martin Panggabean, Chief Economist IGICo Advisory, termasuk kalangan yang menyatakan kekhawatirannya atas kebijakan ini. Menurut dia, hal ini bisa memicu lonjakan permintaan di sektor properti dan melecut kenaikan harga berkali-kali lipat. Pasalnya, patokan harga properti di Indonesia akan disandingkan dengan harga regional yang didasarkan pada kemampuan warga asing yang memiliki daya beli tinggi.

Ia mencontohkan, misalnya harga properti saat ini yang cuma Rp 2 miliar kemungkinan besar akan dijual menjadi sekitar Rp5 miliar kepada pembeli asing. "Ini bisa menjadi awal terjadinya 'bubble' properti. Hal ini bisa diperparah lagi bila ternyata sebagian besar pasar diisi oleh investor atau spekun," katanya kepada Bareksa.com.

Direktur Eksekutif Indonesia Properti Watch, Ali Tranghanda, kepada Bareksa mengatakan angka Rp5 miliar yang selama ini berkembang untuk nilai minimal yang bisa dibeli asing terlalu rendah. Ia menilai saat ini sudah banyak properti menengah dengan harga Rp2 miliar.
Ia menambahkan, selama ini properti di Indonesia terhindar dari bubble properti karena pertumbuhannya terjadi berdasarkan nilai riil. Jika keran asing untuk memiliki dibuka potensi terjadinya pertumbuhan semu akan semakin besar dan akan meledak pada waktunya.

Menengok ke belakang, resesi global yang dipicu ledakan subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008, terjadi gara-gara kredit kepemilikan rumah dijadikan obyek investasi spekulatif di pasar derivatif. Pembentukan harga terjadi berdasarkan patokan harga semu, bukan harga riil. Dan impaknya tidak hanya menghantam sektor properti Amerika, tapi juga menggulung Eropa dan lalu menjalar ke seluruh dunia. 

Di Indonesia, lonjakan harga properti -- khususnya untuk tipe apartemen -- telah terjadi sejak tahun 2009; berdasarkan data PT Cushman & Wakefield Indonesia. Tapi, gejala ini baru berjangkit di area Jakarta, khususnya di area Central Business District (CBD). Di kawasan ini, lonjakan harga apartemen terjadi pada tahun 2014, mencapai 38,9 persen. Sebaliknya, pertumbuhan di area prime justru mulai menurun, menjadi hanya 22,4 persen. Pada periode 2009-2014, area CBD rata-rata tumbuh 21,7 persen sedangkan prime hanya 18 persen.

Grafik: Harga Jual Apartemen Per M2 (Rp Juta) Periode 2009 - Kuartal I 2015

Sumber: Bareksa.com

Di sisi pendapat yang lain, Presiden Direktur PT Syailendra Capital Jos Parengkuan justru menyambut positif. Dia menilai kebijakan Jokowi ini menciptakan kepastian regulasi soal kepemilikan properti oleh pihak asing. “Investor asing jadi tidak ngumpet-ngumpet lagi beli properti. Sekarang ini, banyak yang memakai nominee, akhirnya pajak malah tidak terbayar dengan benar,” katanya.

Soal kekhawatiran 'bubble' properti, Jos melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Dia menyodorkan fakta bahwa di Malaysia misalnya, investor asing bebas membeli properti namun harga properti di negeri ini nyatanya tetap kalah mahal dibandingkan Jakarta. "Pada akhirnya ini akan terkait dengan demand dan supply. Kalau memang harganya cuma Rp2 miliar memangnya si warga asing tidak cukup pintar mau membayar Rp5 miliar?" Jos balik bertanya.

Menurut Jos, skandal subprime mortgage di AS meledak bukan disebabkan lonjakan harga properti karena investor asing. Malapetaka itu terjadi karena kecerobohan analisis kredit dan aturan industri finansial yang kelewat longgar.

Data konsultan properti global Knight Frank tahun 2015 memperlihatkan harga tanah di Kuala Lumpur masih berada di bawah Jakarta. Namun, harga properti di Jakarta masih jauh di bawah kota-kota lain di negara maju seperti Singapura dan Tokyo.
Permintaan akan properti di Jakarta sebetulnya sudah melonjak cukup lama. Indeks properti yang dibuat Knight Frank menunjukkan pada periode Juni 2012-Juni 2014 kenaikan harga perumahan dan perkantoran di Jakarta merupakan yang tertinggi di antara kota-kota besar lain di Asia seperti Singapura dan Shanghai. Pertumbuhan harga perumahan mencapai 104,5 persen dan perkantoran 72,5 persen.

Adapun laporan DBS Research menyimpulkan walaupun harga tanah di Jakarta dan Surabaya naik rata-rata 35 persen per tahun pada periode 2009-2014, tetapi sektor properti belum menunjukan indikasi 'bubble'"Ini hanya fase di mana pertumbuhan lapisan masyarakat dengan middle income mulai naik," demikian ditulis laporan itu. Hal itu terlihat dari pendapatan rumah tangga pada periode 2009-2013 yang rata-rata bertumbuh 27 persen per tahun. Padahal, per akhir 2009 hanya naik 17 persen.


Sumber: Knight Frank Research

Meski demikian, Jos mengingatkan tetap ada kemungkinan terjadi lonjakan harga properti sebagai imbas dari kebijakan ini. Untuk itu, kebijakan ini perlu di-back-up aturan lain mengenai pajak dan kredit dari Bank Indonesia, agar tidak lantas lepas kendali. 
Sementara menurut Ali, ancaman kenaikan harga properti secara keseluruhan akibat kebijakan ini bisa dihindarkan jika bunyi persis PP No. 41/1996 yang sedang dikaji pemerintah benar-benar mengatur pembatasan harga dan juga zonasi seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan.

Dilaporkan koresponden Bareksa di London, Inggris; negeri ini mulai memperkokoh aturan kepemilikan properti oleh pihak asing. Warga asing bebas membeli properti, namun untuk rumah yang tidak dijadikan hunian utama pajak yang dikenakan tinggi, paling kecil 28 persen. Kebijakan ini akan mulai diberlaku per April 2015, dilatari keluhan banyak warga London soal menggilanya harga properti di kota ini. Tujuannya, untuk meredam spekulasi properti.  

Pelajaran yang bagus dari Big Ben. (np, kd)

Sumber : bareksa.com

0 komentar:

Posting Komentar